Kehidupan Buddha
Artikel utama: Gautama Buddha
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha
Siddharta Gautama dilahirkan dari suku
Sakya pada awal masa
Magadha (
546–
324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan
Himalaya yang bernama
Lumbini. Sekarang kota ini terletak di
Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama
Sakyamuni (
harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan
Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang per
tapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (
majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah
pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan
Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai
Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata
Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata
budh+
ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri
dataran Gangga di tengah
India (daerah mengalirnya
sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab
Buddha Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa
Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab
Mahayana, sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
Tahap awal agama Buddha
Sebelum disebarkan di bawah perlindungan
maharaja Asoka pada
abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.
Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah Buddha wafat di bawah perlindungan raja
Ajatasattu dari
Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama
Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang disebut
Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Buddha (
sutta (Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum
monastik (
vinaya):
Ananda, salah seorang murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum
vinaya. Ini kemudian menjadi dasar
kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.
Konsili Kedua Buddha (383 SM)
Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum
Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Buddha demi mengatasi
samsara dan mencapai
arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham
Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan "besar" atau "mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan
Asia Tengah menurut prasasti-
prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat
Oxus dan bertarikh
abad pertama.
Lihat pula: mazhab awal Buddha
Dakwah Asoka (+/- 260 SM)
Maharaja
Asoka dari
Kekaisaran Maurya (
273–
232 SM) masuk agama Buddha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang
Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-
stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati
Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan
rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri.
Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (
piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di
kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah
Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
Maharaja
Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun
250 SM di
Pataliputra (sekarang
Patna). Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.
Kanon Pali (
Tipitaka, atau
Tripitaka dalam
bahasa Sansekerta, dan secara
harafiah berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan tradisional Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (
Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (
Abhidharma Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama, setelah tahun
250 SM, kaum
Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi
Theravada) dan kaum
Dharmaguptaka menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa
Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang sama.
Dunia Helenistik
Beberapa prasati
Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai penerima
dakwah agama Buddha:
Antiokhus II Theos dari
Kerajaan Seleukus (261–246 SM),
Ptolemeus II Filadelfos dari
Mesir (285–247 SM),
Antigonus Gonatas dari Makedonia (276–239 SM),
Magas dari Kirene (288–258 SM), dan
Alexander dari Epirus (272–255 SM).
- "Penaklukan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan dan bahkan enam ratus yojana (6.400 kilometer) jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana empat raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh Tamraparni." (Piagam Asoka, Piagam Batu ke-13, S. Dhammika)
Kemudian, menurut beberapa sumber dalam
bahasa Pali, beberapa utusan Asoka adalah bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya pertukaran agama antara kedua budaya ini:
- "Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang Penakluk (Asoka) telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat dan Sindhu), beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).
Tidaklah jelas seberapa jauh interaksi ini berpengaruh, tetapi beberapa pakar mengatakan bahwa sampai tingkat tertentu ada
sinkretisme antara falsafah Yunani dan ajaran Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu. Mereka terutama menunjukkan keberadaan komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di
Alexandria (disebut oleh
Clemens dari Alexandria), dan keberadaan sebuah ordo-
monastik pra-Kristen bernama
Therapeutae (kemungkinan diambil dari kata Pali "
Theraputta"), yang kemungkinan "mengambil ilham dari ajaran-ajaran dan penerapan ilmu tapa-samadi Buddha" (Robert Lissen).
Mulai dari tahun
100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain
Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja
Alexander Yaneus (
103-
76 SM). Alexander Yaneus dihubungkan dengan sekte falsafi Yunani, kaum
Saduki dan dengan ordo monastik
Essenes, yang merupakan cikal-bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai
orang Romawi menginvasi
Yudea pada
63 SM.
Batu-batu nisan Buddha dari
era Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan Dharmacakra (Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di Alexandria, beberapa pakar menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").
Ekspansi ke Asia
Di daerah-daerah sebelah timur anak benua Hindia (sekarang
Myanmar), Budaya India banyak memengaruhi sukubangsa
Mon. Dikatakan suku Mon mulai masuk agama Buddha sekitar tahun
200 SM berkat dakwah maharaja
Asoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran
Mahayana dan
Hinayana. Candi-candi Buddha Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari
abad pertama sampai
abad ke-5 Masehi.
Seni Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum
Gupta dan periode pasca Gupta. Gaya
manneris mereka menyebar di
Asia Tenggara mengikuti ekspansi kerajaan Mon antara
abad ke-5 dan
abad ke-8. Aliran Theravada meluas di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara bertahap dengan aliran Mahayana sejak
abad ke-6.
Agama Buddha konon dibawa ke
Sri Lanka oleh putra Asoka
Mahinda dan enam kawannya semasa
abad ke-2 SM. Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk agama Buddha. Inilah waktunya kapan wihara
Mahavihara, pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt.
Kanon Pali dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah
29–
17 SM), dan tradisi Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama Buddha juga bermukim di sana seperti
Buddhaghosa (abad ke-4 sampai ke-5). Meski aliran
Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu, akhirnya aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir aliran Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke
Asia Tenggara mulai
abad ke-11.
Ada pula sebuah legenda, yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan
Himalaya, menuju ke
Khotan di
dataran rendah Tarim, kala itu tanah sebuah bangsa
Indo-Eropa,
bangsa Tokharia.
Lihat pula: Piagam-piagam Asoka
Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)
Dinasti Sungga (
185–
73 SM) didirikan pada tahun
185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya maharaja
Asoka. Setelah membunuh Raja
Brhadrata (raja terakhir
dinasti Maurya), hulubalang tentara
Pusyamitra Sunga naik takhta. Ia adalah seorang
Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian dan penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000
stupa Buddha yang telah dibangun Asoka dirusak (R. Thaper), dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol. XXII, halaman 81 dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar
wihara Buddha diubah menjadi kuil
Hindu, seperti di
Nalanda,
Bodhgaya,
Sarnath, dan
Mathura.
Lihat pula: Kekaisaran Sungga
Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)
Di wilayah-wilayah barat
Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang bertetangga sudah ada di
Baktria (sekarang di Afghanistan utara) semenjak penaklukan oleh
Alexander yang Agung pada sekitar
326 SM: pertama-tama kaum
Seleukus dari kurang lebih tahun
323 SM, lalu
Kerajaan Baktria-Yunani dari kurang lebih tahun
250 SM.
Raja
Baktria-Yunani Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada tahun
180 SM dan sampai sejauh
Pataliputra. Kemudian sebuah
Kerajaan Yunani-India didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai akhir
abad pertama SM.
Agama Buddha berkembang di bawah naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah diutarakan bahwa maksud mereka menginvasi India adalah untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap
Kekaisaran Maurya dan melindungi para penganut Buddha dari penindasan kaum Sungga (
185–
73 SM).
Salah seorang raja Yunani-India yang termasyhur adalah Raja
Menander I (yang berkuasa dari +/-
160–
135 SM). Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi
Mahayana sebagai salah satu sponsor agama ini, sama dengan maharaja
Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang akan datang, raja
Kaniska. Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam
bahasa Yunani, dan "Maharaja Dharma" dalam
aksara Kharosti. Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog
Milinda Panha antara raja Yunani
Menander I dan sang bhiksu
Nagasena pada sekitar tahun
160 SM. Setelah mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh kota-kota yang dikuasainya dan ditaruh di
stupa-stupa tempat pemujaannya, mirip dengan sang Buddha Gautama (
Plutarkhus, Praec. reip. ger. 28, 6).
Interaksi antara budaya Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran
Mahayana, sementara kepercayaan ini mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan Buddha yang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan Buddha secara
antropomorfis dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya
seni Buddha-Yunani: "One might regard the classical influence as including the general idea of representing a man-god in this purely human form, which was of course well familiar in the West, and it is very likely that the example of westerner's treatment of their gods was indeed an important factor in the innovation" (Boardman, "The Diffusion of Classical Art in Antiquity").
Lihat pula: Agama Buddha-Yunani
Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)
Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari
abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad
Indo-Eropa yang berasal dari
Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum
Yuezhi, yang mendirikan
Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun
12 SM.
Kaum Kushan menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja
Kanishka, pada kira-kira tahun
100 Masehi di Jalandhar atau di
Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya aliran
Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran
Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili rahib bidaah".
Konon Kanishka mengumpulkan 500
bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting
Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.
Konsili ini tidak berdasarkan kanon
Pali yang asli (
Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa
Gandhari dan
aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam
bahasa Sansekerta yang sudah menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran Buddha.
Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.
Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai abad ke-10 Masehi)
Penyebaran aliran
Mahayana antara abad pertama - abad ke-10 Masehi.
Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke
Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke
Asia Tengah,
Tiongkok,
Korea, dan akhirnya
Jepang pada tahun
538.
Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)
Mulai
abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan Islam menyebabkan kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat anak benua India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di antara
Timur Tengah lewat
Sri Lanka dan ke
Cina terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran
Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar
abad ke-11 dari
Sri Lanka.
Raja
Anawrahta (
1044–
1077), pendiri sejarah kekaisaran
Birma, mempersatukan negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi Budha
Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan
abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh
orang Mongolia pada
1287, tetapi aliran Buddha Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.
Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik
Thai Sukhothai sekitar
1260. Theravada lebih jauh menjadi kuat selama masa
Ayutthaya (
abad ke-14 sampai
abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada terus menyebar ke
Laos dan
Kamboja pada
abad ke-13.
Tetapi, mulai
abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia Tenggara, pengaruh
Islam ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam
Malaysia,
Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan
Filipina.